Ia diam termenung. Sesekali ia melongok ke arah kiri, berharap melihat bayangan merah yang datang menjemputnya. "Auf Gleis 2, RE 6 richtung Duisburg ueber Muelheim, Abfahrt um 12:20, heute 5 Minuten Verspaetung", terlontar dari seorang perempuan melalui pengeras suara. Lugas dengan penekanan yang jelas, menyiratkan keseriusan sekaligus ketidaktarikannya pada kata-kata yang baru saja terucap. “Tumben terlambat, biarpun lima menit”, ucapnya pelan sembari melongok ke papan pengumuman.
Deutsche Bahn telah menjadi teman barunya, setelah belakangan ini rajin menyambangi stasiun. Terutama setelah sering mengunjungi kelas di Universitaet Essen, dimana kereta menjadi sarana penghubung paling efektif, dan atraktif. Di stasiun, ia bisa menyaksikan tingkah polah ragam individu. ABG yang bertukar cerita tentang pasangan mereka, bocah belasan tahun dengan ponsel Samsung yang lebih besar dari tangannya, seorang perempuan paruh baya yang terlihat menyimpan segudang cerita namun terpaksa menahannya karena duduk di samping pemuda dengan kuping tersumbat pemutar musik. Di stasiun, ia merangkai cerita, tanpa harus menggunakan bahasa. Jika pun diperlukan, ia hanya perlu memilih dari yang tersedia: Jerman, turki, inggris, belanda, arab, dan sekian lain yang tak terjamah kuping.
Selama ini ia menganggap stasiun sebagai persinggahan. Tetapi lambat laun makna subyektifnya telah berubah.
Di sini ia memulai harinya.
Di sini orang mengawali perjalanan.
Di sini manusia berpisah dan berjumpa.
Di sini peruntungan bermula dan berakhir.
Tak heran, pikirnya, Putu Wijaya menjadikan stasiun sebagai metafor titik pijak nasib manusia. Paling tidak, itu interpretasi yang ia berikan.
Sering ia berpikir, atau berharap, jalan hidupnya menyerupai rute sebuah kereta. Terencana, presisi, dengan kecepatan yang bisa diatur. Mungkin ia tidak bisa memaksa dirinya menjadi kereta ICE, tetapi minimal IC. Kalaupun terlambat, maksimal 10 menit. Selama tidak ada cuaca buruk atau hal-hal yang tidak terduga, mestinya semua stasiun bisa dicapai sesuai jadwal.
Dalam lamunannya, ia berandai, apa yang terjadi jika juru kemudi tiba-tiba tidak membawa kereta mengikuti sepur yang semestinya? Apa jadinya jika, dengan sengaja, ia membelokkannya ke arah yang salah? Bisakah kereta tersebut kembali ke sepur awal, meskipun bukan di stasiun tujuan?
Deru lokomotif dan gemuruh kereta membangunkannya. Tersentak, ia melangkah mundur dan membiarkan para penumpang keluar terlebih dahulu. Lalu ia bergegas masuk dan membidik tempat duduk yang searah dengan laju kereta. "Kali ini aku tidak akan menghiraukan perjalanan, lebih enak memejamkan mata," ungkapnya dalam hati setelah mematikan ponsel.
Hari itu, ia semestinya berdiri di peron yang berbeda.