Kita (baca: orang Indonesia) tidak meragukan kemampuan diri kita berpikir, melainkan apakah kemampuan tersebut dapat melahirkan sebuah suara. Jika dibalik, pertanyaannya adalah: Suara siapakah yang kita dengar sewaktu berpikir? Bertolak dari kerancuan tersebut, tantangannya adalah menciptakan ‘pengetahuan yang autentik’; pengetahuan yang diolah subyek emansipasi untuk berpijak di atas tanahnya, dan bukan berpijak di atas tanah yang tidak kita kuasai (eurosentrisme).
Read moreMonth: April 2013
Matikan Twittermu
Twitter hanyalah sumber kebisingan. Sungguh. Tak pernah menggunakannya secara maksimal dan menemukan kenyamanan menjadi seorang tweep. Iya, ini tentu soal preferensi dan cara pemanfaatan, tetapi eksperimen saya untuk bercericit dalam 140 karakter bisa dibilang gagal. Maka mematikan Twitter adalah pilihan yang paling masuk akal buat saya. Omong-omong akal, saya juga tidak pernah bisa mengerti tweep…
Read moreReferensi Poskolonialisme dan Pembangunan
Akhir-akhir ini saya banyak menggeluti teori poskolonial dalam kaitannya dengan kritik pembangunan. Ada kemungkinan saya akan menggunakan perspektif ini untuk seterusnya dalam membedah dan mengkritisi pembangunan di Indonesia. Tetapi itu persoalan konsistensi pemikiran. Untuk sementara, saya mencantumkan beberapa referensi yang saya anggap berguna sebagai pisau bedah. Perlu dicatat di sini bahwa kajian poskolonial yang saya…
Read more