Dalam Can There Be Southeast Asians in Southeast Asian Studies, Ariel Heryanto, dengan begitu apik bertutur tentang terpinggirkannya akademisi Asia Tenggara dalam kajian Asia Tenggara. Tanpa bermaksud untuk menjadi sebuah kritik poskolonial, beliau menulis sebuah esai dengan argumentasi yang kokoh sekaligus begitu mengalir. Tulisan ini, jika dibaca secara reflektif, merupakan tamparan keras, terutama bagi akademisi Indonesia yang cialis prix berniat untuk mempelajari negerinya mengandalkan legitimasi gelar dari universitas terkemuka di Barat.
Saya tidak akan mencoba merangkum 76 paragraf beliau dalam beberapa poin, tetapi saya hanya ingin mengutip satu kalimat dari artikel tersebut. Poin tersebut sudah lama menjadi kritik saya sendiri terhadap perspektif, gaya dan keyakinan yang dianut cukup banyak akademisi Indonesia dalam menjawab persoalan di negeri sendiri.
” [..] in the hands of some children of the same dominant West (i.e., Southeast Asianists), these new approaches (post-isms) have been twisted not only to make “smart, useful remarks” (Reynolds 1995: 439) or a “new canon of self-referential theory” (Reid 1999:148), but to be a hand methodological instrument both for ridiculing post-colonial despots,” and depreciating those who live under these despots, while at the same time “enhancing professional credentials in the increasingly competitive academic industrial complex”. […] One must go far beyond them (post-ism) for any radical examination of the way power and dominant discourses operate in many post-colonial societies of Southeast Asia.
Lalu, mengutip Jeremy Clarkson, on that bombshell, it is time to end.