Di tengah terowongan gelap pendidikan yang seolah tak berujung, muncul cahaya kecil dari
Pendirian Institut Javanologi ini kemudian menjadi sebuah oase di tengah gurun pasir. Membangun sebuah pusat kajian yang mendalami kebudayaan dan sejarah peradaban lokal adalah langkah yang sangat strategis untuk menghasilkan sebuah nilai tambah, baik dalam hal produksi pengetahuan maupun sebagai modal untuk menghadapi persaingan global mengingat keberadaan pendidikan yang tidak terlepas dari institusi lain seperti ekonomi, maupun politik.
Istilah World Class tidak melulu harus diterjemahkan dalam standarisasi, sertifikasi atau pemeringkatan oleh lembaga tertentu. Keunggulan tersebut harus dibangun, dengan mengangkat potensi lokal ke dalam level yang lebih tinggi, ke dalam arena persaingan global. Membangun sebuah pusat kajian unggulan untuk itu memerlukan cara berfikir yang terbalik. Ketimbang berlomba dalam persaingan yang asimetris, dimana modal awal untuk bersaing sudah timpang, maka logikanya adalah memberi nilai tambah pada keunggulan, keunikan dan aset yang tidak dimiliki pihak lain.
Pendirian pusat kajian seperti Institut Javanologi menjadi contoh yang tepat akan pentingnya sebuah sikap dalam menghadapi arus pendidikan internasional yang mendorong penyeragaman proses penyemaian pengetahuan. Ketika perguruan tinggi lain berlomba untuk menyamakan dirinya dengan kampus di belahan negara lain, dengan mengacu pada standar internasional yang ada, maka membangun sebuah identitas yang tidak tertandingi adalah pilihan yang rasional untuk menyamakan derajat. Ketimbang berpacu dalam lomba yang tidak adil akibat regulasi perdagangan bebas, pilihan yang tepat adalah membangun spesialisasi yang mendorong orang untuk datang belajar pada yang bersangkutan. Karena efek langsung dari globalisasi adalah spesialisasi, di mana tiap negara, masyarakat dan komunitas harus memiliki sebuah kekhususan yang membedakan dirinya dengan pihak lain dalam sebuah arena perebutan sumber daya.
Dan Indonesia memiliki potensi berlimpah ruah. Jika UNS berani mendirikan sebuah institut Javanologi, maka tidak ada alasan untuk mengikuti model yang sama. Kalimantan, dapat saja mendirikan pusat kajian Borneo Center, Sulawesi Selatan membangun Institut Pelayaran atau Maluku membangun Pusat Kajian Maritim berdasarkan sejarah dan kebudayan di masing-masing wilayah. Dan Papua membangun Pusat Etnologi Indonesia Timur. Inilah nilai tambah yang tidak mungkin dimiliki bangsa lain.
Gagasan ini semestinya menjadi otak dan jantung dalam meningkatkan pendidikan agar bersaing secara internasional, yakni dengan memberi nilai tambah pada corak dan keunggulan yang sudah dimiliki. Bukan untuk sekedar mengikuti sebuah standar internasional, yang akhirnya hanya menyedot dana pendidikan dan menguntungkan agen wisata atas keharusan melakukan studi banding di luar negeri. Karena seharusnya, esensi dalam peningkatan kualitas institusi pendidikan ke jenjang global adalah peningkatan rasa percaya diri dengan menonjolkan potensi bangsa, bukan sebaliknya.