Tanpa sepengetahuan banyak orang, diam-diam di tanah Indonesia sedang didirikan beberapa kerajaan. Kerajaan ini dinamakan food estate, dan dibangun secara legal karena terlindungi, bahkan didorong, oleh Instruksi Presiden no 5 tahun 2008. Status kerajaan ini layak disematkan mengingat besarnya keluwesan dalam pengelolaan lahan produksi pangan yang diperoleh dan ambisi untuk menjadikannya sebagai lumbung pangan nasional. Keistimewaan ini juga terekam pada Pameran Pangan Nasional Pasok Dunia (29/1) dimana Presiden SBY menegaskan sektor usaha sebagai ”the players, the real actor”dan harus membantu pemerintah untuk merumuskan kebijakan dan strategi yang tepat dan realistik (www.setneg.go.id).
Janji Pembangunan Inklusif
Kehadiran food estate mulai memicu pro dan kontra, meskipun dia merupakan lagu lama yang berulang kali dinyanyikan, yakni soal peran korporasi besar dalam sektor yang menentukan hajat hidup mayoritas penduduk Indonesia: pertanian. Namun, mengingat food estate ini merupakan pembangunan industri pangan terintegrasi pertama di Indonesia, perhatian lebih memang sepantasnya kita berikan.
Wacana Food Estate ini harus dilihat dari beberapa perspektif. Dari sisi pemerintah dan pelaku usaha, ia adalah peluang yang menimbulkan air liur. Tidak hanya investor lokal yang sudah siap memasang papan nama mereka di wilayah Merauke, Jepang dan UEA pun sudah antri giliran . Jelas, ini akan menghasilkan keuntungan jangka pendek yang besar dan mendorong pertumbuhan ekonomi lokal-nasional secara signifikan, mengingat insentif yang dijanjikan pemerintah. Bagi Deptan, ini jelas akan mendorong produktifitas dan perluasan lahan yang selama ini dibiarkan menganggur. Food Estate bagaikan alat kosmetik bagi strategi pencitraan pemerintah yang kerap mengedepankan angka produktifitas pertanian ketimbang nilai pendapatan petani. Kehadiran perusahaan besar ini juga sejalan dengan tujuan pemerintah yang mendorong peningkatan nilai ekspor sebagai penentu arah perekonomian makro.
Di sisi lain, food estate ini justru menimbulkan pertanyaan soal target kedaulatan pangan dan janji duet SBY – Boediono soal pembangunan yang inklusif. Dari segi kedaulatan pangan, food estate tidak berkontribusi banyak, karena bagaimanapun juga, dia tidak lahir dari tangan rakyat yang berdaulat atas tanah dan sumber daya alam di wilayahnya. Food estate adalah pengambil alihan produksi pangan oleh pemilik modal besar, yang didukung oleh negara, dengan memanfaatkan ketidakberdayaan masyarakat lokal dalam mengolah potensi sumber daya yang sudah tersedia. Ironiini akan semakin menjadi-jadi jika food estate ternyata tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan lokal dan nasional terlebih dahulu.
Lahan dan Kedaulatan Pangan
Padahal, esensi kedaulatan pangan terletak pada kemandirian rakyat dalam tiap upaya pemenuhan kebutuhan pangan mereka. Hal ini semestinya tercermin dari segi pembangunan. Negara yang kuat adalah yang mampu mengikutsertakan rakyatnya dalam pengelolaan sumber daya alam untuk mencapai kesejahteraan. Dan bukan menyingkirkannya dari tanah tempat mereka berpijak. Apalagi merongrong alamnya. Mengacu pada berbagai peristiwa yang sudah sekian kali terjadi di berbagai wilayah nusantara dengan kekayaan alam melimpah, hal ini pantas menjadi sumber kekhawatiran.
Secara harfiah, food estate dapat diartikan sebagai perkebunan pangan. Tetapi yang terbayang ialah model pengelolaan lahan dengan pola industrial, dimana kepemilikan alat produksi akan menentukan kondisi mereka yang tak bermodal. Mudah dibayangkan dan ditebak, bagaimana arus modal yang masuk ke Merauke hanya akan memberi keuntungan kecil atau bahkan merugikan karena meminggirkan warga dari aset utama mereka, yaitu lahan.
Lahan adalah kata kunci yang harus diperhatikan pemerintah bila ingin mengembangkan kedaulatan pangan dan pertanian nasional. Sudah bukan rahasia lagi bahwa hambatan petani adalah akses terhadap lahan. Data terakhir menunjukkan bahwa petani gurem (kepemilikan lahan < 0,5 hektar) meningkat 2,6% per tahun (Sensus Pertanian 2003). Sementara itu, dengan penguasaan lahan dalam skala besar (pemerintah menyiapkan hingga 1 juta hektar di KEK Merauke), food estate bahkan bisa dilihat sebagaipraktik land grabbing yang legal. Oleh karena itu, food estate tidak sesuai dengan komitmen pemerintah untuk menyediakan lahan bagi petani. Dalam aspek yuridis, kebijakan food estate bahkan bisa dianggap bertabrakan dengan UU Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang sudah disahkan.
Freeport Jilid Kesekian
Dipilihnya Papua sebagai wilayah pelaksanaan Food Estate juga mengernyitkan dahi banyak orang. Berbagai problem struktural di tanah Papua yang kompleks bisa menjadi bumerang bagi pengusaha dan pemicu konflik horizontal di antara warga. Masih minimnya pengetahuan dan keterampilan warga Papua dalam pertanian modern akan menjadikan mereka sebagai penonton belaka dan seperti telah diulas secara gamblang, tanah sebagai bahan baku semata (Kompas, 5/02). Kerusakan lingkungan dan peminggiran masyarakat asli seperti di Timika semestinya selalu menjadi kompas bagi arah kebijakan pembangunan.
Dengan berbagai kondisi yang melatarbelakangi ini, sudah semestinya kita bertanya soal dampak food estate bagi wilayah yang mereka tumpangi. Tentu, kehadiran food estate ini merupakan angin segar bagi dunia pertanian kita. Tetapi di sisi lain kita juga tidak ingin bahwa dia menjadi puting beliung yang memporak-porandakan penduduk setempat.
Kembali kepada gambaran food estate sebagai kerajaan : Sudikah kita membiarkan mereka sebagai rakyat yang hanya membayar upeti kepada sang raja?
.