
Pada dasarnya, saya memang suka nyupir. Apalagi jika hobi itu bisa menghasilkan cuan!
Tapi semua ini sebenarnya kebetulan. Sebelum berangkat ke Belanda untuk mengawali studi S3, saya sudah menyiapkan SIM Internasional karena sudah berencana akan melakukan roadtrip ke sana ke mari. Tak disangka, fakta bahwa saya memiliki SIM Internasional ini juga berguna bagi kawan-kawan yang membutuhkan jasa transportasi untuk berbagai keperluan di Amsterdam.
Setelah beberapa kali membantu rekan-rekan senior pindahan secara ikhlas (dibayar dengan makanan dan hibah barang), seorang kolega justru menyarankan saya untuk meresmikan jasa yang tiada tara ini. “Iya juga ya” ungkap hati kecil sembari melihat celana yang sobek-sobek karena tersangkut tangga sewaktu membantu pindahan. Celana yang sobek ini adalah dramatisasi tentu, tetapi berkat petuah bijak kolega saya, muncullah ide bisnis brilian yang sejauh ini belum ditandingi start-up manapun di Belanda. Setidaknya itulah keyakinan saya.
Maka lahirlah Siantar Express. Tidak ada basis legal dan izin usaha, tapi semua diketahui oleh malaikat Raqib. Model bisnisnya pun sederhana: Kerjakan dengan baik, nanti pelangganmu akan menyiarkannya kepada yang lain. Yang penting WA selalu siaga.
Tetapi mengapa memilih nama Siantar Express? Pertama, karena Siantar adalah permainan dari kata Si-Antar: dia yang mengantarkan. Kedua, karena siantar saya anggap singkatan dari “siap” dan “antar”. Ketiga, karena Pematang Siantar adalah kota kelahiran mendiang ayah dan menjadi bagian identitas saya, si putra Batak yang paling tidak meneruskan citra orang Tapanuli sebagai supir ulung (tertawa menggelegar).